Senin, 29 Desember 2014

Tugas Membuat Poster Koperasi

Tugas Kelompok Koperasi

Tema : Ajakan Kepada Masyarakat Untuk Meninggalkan Lintah Darat dan Beralih ke Koperasi



Jumat, 14 November 2014

Perkembangan Koperasi Mulai Dari Jaman Penjajahan-Sekarang

Sejarah kelahiaran koperasi di tanah air kita lebih unik karena koperasi lahir dan telah tumbuh secara alami di masa penjajahan. Bangsa kita dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 3 abad dan setelah itu dijajah Jepang selama 3,5 tahun. Selama masa penjajahan, bangsa Indonesia berada dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Penjajah menindas rakyat dan mengeruk sebanyak-banyaknya hasil kekayaan alam Indonesia. Penjajahan menjadikan perekonomian Indonesia terbelakang, masyarakat diperbodoh sehingga dengan mudah ditipu dan diperas oleh para kaum lintah darat dan tengkulak.

Koperasi memang lahir dari penderitaan seperti yang terjadi di eropa pada pertengahan abad ke 18. Koperasi di Indonesia pun lahir sebagai usaha memperbaiki ekonomi masyarakat yang ditindas oleh penjajah pada masa itu.

Sejarah perkembangan koperasi Indonesia secara garis besar dapat dibagi dalam beberapa jaman :

Jaman penjajahan Belanda
Perkenalan bangsa Indonesia dengan koperasi dimulai pada penghujung abad ke-19, tepatnya tahun 1895. R. Aria Wiriaatmaja seorang patih di Purwokerto sebagai pelopor berdirinya sebuah bank yang bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha ini mendapat persetujuan dari Residen Purwokerto E. Sieburg dengan nama koperasinya Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Pelayanan bank ini masih terbatas pada kalangan pamong praja. Namun pada tahun 1898 atas bantuan E. Sieburg dan De Wolff Van Westerrode diperluas ke sektor pertanian (Hulp- Spaar en Lanbouwcrediet Bank) dengan meniru koperasi pertanian di Jerman (Raiffeisen).
Tahun 1908, Boedi Oetomo turut serta mengembangkan koperasi di Indonesia dengan spesialisasi koperasi konsumsi untuk tujuan meningkatkan kecerdasan rakyat dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia.
Undang-undang yang mengatur koperasi baru keluar sekitar tahun 1915, yaitu pada tanggal 7 April 1915. Undang-undang ini bersifat keras dan membatasi gerak koperasi bahkan beberapa isinya terkesan dibuat untuk mematikan koperasi. Ini menyebabkan organisasi-organisasi politik dan ekonomi sulit berkembang.
Pada tahun 1927, undang-undang koperasi dan peraturan koperasi Anak Negeri diperbaiki lagi. Perubahan ini menjadikan koperasi lebih fleksibel dan menimbulkan semangat untuk memperjuangkan koperasi kembali berkibar. Namun peraturan koperasi No. 108/1933 yang lahir di tahun 1933 kembali dibuat untuk membatasi gerak koperasi karena Belanda jengah melihat perkembangan koperasi yang kian pesat.

Jaman Jepang
Pada zaman penjajahan Jepang, kurva perkembangan koperasi Indonesia menurun drastis, bahkan hampir mendekati titik kemusnahan. Hal ini disebabkan Jepang mendirikan koperasi yang disebut KUMIAI. KUMIAI adalah koperasi ala Jepang yang diatur menurut tata cara militer Jepang dan undang-undang No.23 tahun 1942.
Awalnya tujuan KUMIAI seragam dengan koperasi sebelumnya, yaitu untukmeningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun lama kelamaan KUMIAI malah dijadikan alat pengeruk dan penguras kekayaan rakyat sehingga rakyat Indonesia pun menjadi kecewa dan antipati terhadap koperasi. Sejak saat itu, kesan buruk koperasi sudah melekat sangat erat di masyarakat kebanyakan.
Pada bulam Maret 1942 Jepang merebut kendali kekuasaan di Indoensia dari tangan Belanda.Tahun 1942-1945 koperasi Indonesia disesuaikan dengan sistem kemiliteran Jepang. Koperasi di batasi hanya untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Sesuai dengan Peraturan Kemiliteran Jepang No. 23 pasal 2, setai koperasi harus mendapatkan persetujuan ulang dari Suchokan,karena peraturan pada Zaman Belanda tidak berlaku lagi.Model koperasi yang dikembangkan oleh Jepang dengan sebutan Kumiai yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan perang Asia Timur Raya.Jepang melakukan porpaganda bahwa keberadaan Kumiai adalah untuk mensejahterahkan masyarakat, sehingga mendapat simpati yang cukup luas dari masyarakat.Keberadaan Kumiai sangat bertentangan dengan kepentingan ekonomi masyarakat, kemudian menetapkan kebijakan pemisahan antara urusan perkoperasian dengan urusan perekonomian.Dengan kebijakan tersebut pembinanan koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi masyarakat terabaikan sama sekali.Fungsi koperasi dalam priode ini hanya sebagai alat untuk mendistribusikan bahan-bahan kebutuhan pokok untuk kepentingan perang Jepang bukan untuk kepentingan rakyat IndonesiaKenyataan ini yang telah menyebabkan semangat koperasi di dalam masyarakat Indonesia melemah.

Jaman kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain “Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”. Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat, Kabinet Wilopo mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian:
  1. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi;
  2. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
  3. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program Pemerintahannya “Untuk kepentingan pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperluas perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi”.
Pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan InternationalCooperative Alliance (ICA). Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958.

Jaman Orde Baru
Pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian:
Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan Anggaran dan mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang memenuhi syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja.
Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasikoperasi kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit Desa). Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
KUD (Koperasi Unit Desa) mulai diberlakukan seiring dibentuknya UU.koperasi No.25/1992 oleh Prof. Dr. H. Sudarsono. Pada saat itu koperasi digunakan sebagai alat demokrasi ekonomi dan sebagai badan usaha mandiri yang terus berkembang pesat sampai sekarang.

Perkembangan Koperasi Pada Masa Reformasi
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasiyang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasakeuangan, pelayananinfrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomiselain peluang untuk memanfaatkan potensisetempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah.
Dalam hal ini konsolidasi potensikeuangan, pengem­bangan jaringaninformasiserta pengembangan pusat inovasi dan teknologimerupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintahdi daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kreditdi daerah. Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat).
Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional. Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.
Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Sumber :
http://mohlihan.wordpress.com/2013/07/04/rangkuman-sejarah-perkembangan-koperasi-pada-empat-zaman/
http://silvesterhotasi.wordpress.com/2013/10/07/sejarah-dan-perkembangan-koperasi-di-indonesia/

Rabu, 22 Oktober 2014

Ekonomi Koperasi

Nama  : Rahmayanti
Npm    : 27213195
Kelas    : 2EB01

Ekonomi Koperasi

Koperasi berasal dari bahasa asing co-operation. (Co = bersama, operation = usaha), koperasi berarti usaha bersama, misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) artinya usaha bersama masyarakat di satu wilayah desa, Koperasi Karyawan artinya usaha bersama para karyawan.

Koperasi sebagai badan usaha dapat melakukan kegiatan usahanya sendiri dan dapat juga kerja sama dengan badan usaha lain, seperti perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Perbedaan antara koperasi dan badan usaha lain, dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Dilihat dari segi organisasi
Koperasi adalah organisasi yang mempunyai kepentingan yang sama bagi para anggotanya. Dalam melaksanakan usahanya, kekuatan tertinggi pada koperasi terletak di tangan anggota, sedangkan dalam badan usaha bukan koperasi, anggotanya terbatas kepada orang yang memiliki modal, dan dalam melaksanakan kegiatannya kekuasaan tertinggi berada pada pemilik modal usaha.

b. Dilihat dari segi tujuan usaha
Koperasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bagi para anggotanya dengan melayani anggota seadil-adilnya, sedangkan badan usaha bukan koperasi pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

c. Dilihat dari segi sikap hubungan usaha
Koperasi senantiasa mengadakan koordinasi atau kerja sama antara koperasi satu dan koperasi lainnya, sedangkan badan usaha bukan koperasi sering bersaing satu dengan lainnya.

d. Dilihat dari segi pengelolahan usaha
Pengelolahan usaha koperasi dilakukan secara terbuka, sedangkan badan usaha bukan koperasi pengelolahan usahanya dilakukan secara tertutup.

Berikut ini merupakan salah satu contoh koperasi :

  • Nama Koperasi
Koperasi karyawan English Education

  • Tujuan Pendirian
Tujuan pendirian koperasi yaitu :
- Meningkatkan kesejahteraan para karyawan yang merupakan anggota dari koperasi
- Membantu karyawan yang sedang mengalami masalah keuangan karena koperasi dapat menyediakan pinjaman
- Sebagai tempat untuk karyawan menabungkan uangnya
- Membantu para karyawan memperoleh kebutuhan sehari-hari tanpa perlu membeli ditempat yang jauh


  •  Struktur Organisasi

 


Keterangan :
1.      Ketua           : M. Wahadi S.Pd
2.      Wakil Ketua : Maya Sari S.Pd
3.      Sekretaris     : Ika Wulandari
4.      Bendahara    : Evi Kumala Dewi
5.      Anggota        : Seluruh Staff/karyawan

  • Jumlah Anggota
Anggota dari koperasi ini merupakan seluruh staff yang bekerja pada lembaga tersebut. Setiap karyawan yang bekerja pada lembaga ini diwajibkan ikut serta dalam keanggotaan koperasi ini, karena selain bertujuan untuk mensejahterakan para karyawan koperasi ini  juga bertujuan untuk menjalin hubungan kerja sama yang lebih baik antar sesama karyawan. Jumlah karyawan yang juga merupakan anggota dari koperasi ini terdiri dari 35 orang.

  • Kegiatan
Kegiatan yang dilaksanakan koperasi ini yaitu setiap anggota dapat meminjam uang kepada koperasi yang dananya diperoleh dari simpanan pokok yang dibayarkan pada saat pertama kali menjadi anggota dan simpanan wajib yang dibayarkan pada setiap bulannya. Selain itu terdapat juga simpanan sukarela dimana setiap anggota dapat menabungkan uangnya sesuai keinginan masing-masing anggota. Dan setiap anggota yang meminjam uang diwajibkan untuk membayar jasa pinjaman sebesar 2% dari besarnya pinjaman. Kemudian hasil pengumpulan uang jasa yang diperoleh akan diinvestasikan untuk dijadikan modal usaha yang digunakan sebagai kegiatan penjualan keperluan sehari-hari yang merupakan kegiatan rutin koperasi.

  •  Pembagian SHU
Pembagian SHU dilakukan setiap akhir tahun. Karyawan diberikan laporan keuangan selama periode tersebut. Pembagian SHU diperoleh dari hasil keuntungan barang yang diperjual belikan sebagai hasil kegiatan tersebut. Setiap anggota menerima uang sisa hasil usaha (SHU) sebesar 60% dan 40% dialokasikan untuk modal pinjaman dan penjualan yang dilakukan pada kegiatan koperasi.

  • Permasalahan
Permasalahan yang timbul jika ada anggota yang tidak membayarkan pinjamannya atau bisa disebut kredit macet sehingga menyulitkan modal yang diperoleh untuk kegiatan koperasi.

Kamis, 05 Juni 2014

Kemiskinan Indonesia

Artikel Masalah Kemiskinan Indonesia

Jakarta - Pada mulanya adalah kemiskinan. Lalu pengangguran. Kemudian kekerasan dan kejahatan. Martin Luther King [1960] mengingatkan, “you are as strong as the weakestof the people.” Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah.

Sesungguhnya kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan Pemerintah Kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia [Pulau Jawa]. Pada saat itu indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk yang pesat [Soejadmoko, 1980].       

Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu makin akut. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen [www.bps.go.id]. Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.

Pertanyaannya seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia? Jawabannya mungkin sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini.

Hakikat Kemiskinan

Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja.

Hari Susanto [2006] mengatakan umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak bisa dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor. Apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik, maupun hukum.

Menurut Koerniatmanto Soetoprawiryo menyebut dalam Bahasa Latin ada istilah esse [to be] atau [martabat manusia] dan habere [to have] atau [harta atau kepemilikan]. Oleh sebagian besar orang persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata.

Kondisi Umum Masyarakat

Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat. Bapenas [2006] mendefinishkan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking.”

Di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2000 kasus balita kekurangan gizi dan 206 anak di bawah lima tahun gizi buruk. Sedangkan di Bogor selama 2005 tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi buruk dan 35 balita yang statusnya marasmus dan satu di antaranya positif busung lapar. Sementara di Jakarta Timur sebanyak 10.987 balita menderita kekurangan gizi. Dan, di Jakarta Utara menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat Kesehatan Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut pada Desember 2005 kasus gizi buruk pada bayi sebanyak 1.079 kasus.

Dampak Kemiskinan

Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini.

Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.

Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya [74,99 persen].

Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].

Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.

Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.

Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya.

Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.

Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.

Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan “keamanan” dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.

Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan maupun perkotaan.

Musuh Utama Bangsa

Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata.

Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur].

Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
 
Paradigma Pembangunan

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas kuncinya harus ada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar. Tetapi, juga harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat.

Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.

Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara. Mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.

 Referensi
http://nmjontor.blogspot.com/2012/11/artikel-masalah-kemiskinan-indonesia.html